Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka lahir di Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908.
Ia adalah putra tertua dari tujuh bersaudara. Dididik dalam keluarga Muslim, ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, seorang ulama pembaharu Islam di Minangkabau.
Ibunya bernama Siti Shafiyah, berasal dari keluarga seniman asal Minangkabau.
Sebelum mengenyam pendidikan formal, Hamka lebih dulu tinggal bersama neneknya di selatan Maninjau.
Lalu, saat ia berusia enam tahun, Hamka pindah untuk tinggal bersama ayahnya di Padang Panjang.
Sesuai dengan tradisi Minang, Hamka harus belajar Al-Qur'an dan tidur di masjid dekat rumah keluarganya.
Setelah itu, pada 1915, Hamka mendaftar di SMKA Sultan Muhammad, sekolah di mana ia belajar mengenai ilmu pengetahuan umum.
Dua tahun setelahnya, ia bersekolah di Sekolah Diniyah. Kemudian pada 1918, ayahnya mendaftarkan Hamka di Thawalib Sumatera.
Karena merasa tidak puas dengan kondisi pendidikannya saat itu, ia sering mengunjungi perpustakaan yang dikelola oleh salah satu gurunya, Afiq Aimon Zainuddin.
Hamka kerap membaca buku-buku yang mengulas tentang Jawa Tengah. Akibatnya, ia pun berkeinginan untuk pindah ke Jawa. Setelah empat tahun sekolah, pada 1922, Hamka pindah ke Parabek untuk belajar di bawah asuhan Aiman Ibrahim Wong.
Setelah satu tahun berada di Jawa, ia kembali ke Padang Panjang pada Juli 1925. Di sana ia menulis majalah pertamanya bertajuk Chatibul Ummah yang berisikan tentang kumpulan-kumpulan pidato yang ia dengar di Surau Jembatan Besi.
Pada 1927, Buya Hamka memutuskan untuk pergi ke Mekah.
Selama di Mekah, Buya Hamka belajar mengenai bahasa Arab.
Di Mekah inilah ia bertemu dengan Agus Salim, salah seorang jurnalis juga.
Setelah bertemu dengan Salim, Hamka diberi saran untuk lebih baik kembali ke Indonesia dan mengembangkan kariernya di sana.
Akhirnya, Hamka memutukan untuk kembali ke Indonesia setelah tujuh bulan berada di Mekah. Namun, Hamka tidak kembali ke Padang Panjang, melainkan ke Medan.
Hamka bekerja sebagai penulis di Majalah Pelita Andalas. Namun, setelah ia menikah dengan Siti Rahim, Hamka lebih aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah.
Karena kegigihannya di Muhammadiyah, Hamka diangkat menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang, tahun 1944, Hamka dipercaya menjadi anggota Majelis Darurat yang menangani masalah pemerintahan dan Islam.