Mahabharata, epos terbesar sepanjang masa, sering kali dipahami sebagai cerita tentang kebaikan (Pandawa) melawan kejahatan (Kurawa).
Tetapi sejarah ditulis oleh pemenang.
Bagaimana jika Kurawa menyimpan kisah yang luput dari kita?
Di India, terdapat 1.260 versi Mahabharata.
Di jagat pewayangan, ceritanya pun sangat beragam.
Ada bagian Mahabharata karya Abiyasa yang lama hilang, yang ditulis dari sudut pandang Kurawa.
Jaimini, murid Abiyasa, menulis kepahlawanan Duryudana.
Hanya satu bagian dari versi tersebut, Aswatama Parwa, yang tersisa. Pada abad 2, pujangga Bhasa menulis Urubangga, yang memuja Duryudana.
Pun ada beberapa cerita rakyat di India selatan yang menempatkan Duryudana sebagai pemimpin mulia, yang berani melawan tatanan kasta yang semena-mena.
Inilah Mahakurawa, kisah Mahabharata dari sudut pandang tokoh-tokoh yang dianggap jahat seperti Duryudana, Aswatama, dan Sengkuni, pun yang tertindas dan terlunta seperti Ekalaya, Karna, dan Jara.
Mahakurawa mempertanyakan apa yang baik dan apa yang jahat dan siapa sejatinya pemenang Bharatayuda.
Mahakurawa adalah kisah dari sisi lain: yang kalah, yang terhina, yang terinjak-injak, yang bertempur tanpa berharap campur tangan dewata, yang meyakini bahwa tindakan mereka sesuai dharma!
Dan jika Mahabharata pada akhirnya adalah kisah tentang kemenangan dharma atas adharma, kenapa dunia justru memasuki Kaliyuga?
“Buku-buku Anand memandang mitologi dari perspektif yang berbeda dan menyajikan poin pembalikan.”
“Anand Neelakantan bukan hanya menyampaikan pikirannya tentang epos seperti Ramayana dan Mahabharata, melainkan juga menuliskannya dari sudut pandang antagonis.”
“Anand berusaha menerangi sisi kelam sosok-sosok antagonis dalam epos kita seperti Rahwana dan Duryudana.”