Raden Werkodhara diperintah gurunya, Danghyang Drona, untuk mencari Banyu Mahapawitra, yaitu air suci sumber kehidupan alam semesta.
Ia bertemu sepasang ular besar yang sejatinya adalah widyadhara dan widyadhari yang terkena kutuk dan harus tinggal di tempat tersembunyi: Sumur Si Dorangga.
Ketiga kalinya, Raden Werkodhara diperintah untuk terjun ke samudra agung, Lawaṇa Udadhi, tanpa bekal apa pun.
Itu berarti, ia diperintah untuk mati. Karena keteguhannya, kengerian akan kematian tiada membuatnya gentar.
Ia pun memasuki samudra liar yang penuh gejolak, badai, petir, dan guntur.
Matilah Raden Werkodhara!
Tubuhnya terombang-ambing, terhempas ke sana-kemari oleh gelombang.
Namun, di dalam kematiannya, Sanghyang Acintya, Dia yang melampaui segala hal, Dia yang menjadi tiang kehidupan alam semesta, mendadak terbit di dalam diri sejatinya.
Dialah Sang Guru Sejati! Dialah Sanghyang Nawaruci! Dan dengan kemunculan Sanghyang Nawaruci, bangkitlah Raden Werkodhara dari kematian.
Kitab ini merupakan mahakarya Mpu Siwamurti pada zaman Majapahit, sebuah pedoman bagi pribadi-pribadi di masa lalu untuk mencari Sang Guru Sejati.
Pada masa Jawa Baru, rontal ini lantas diadaptasi menjadi Sêrat Dewa Ruci oleh Raden Ngabehi Yasadipura II, kakek Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Kitab warisan Nusantara yang sangat penting ini kini disuguhkan dalam teks asli, terjemahan, dan uraian atas simbol-simbol yang terkandung di dalamnya.